Makelar kasus tidak hanya ada di ruang-ruang sidang. Makelar kasus juga sering menampakkan wajahnya di jalanan. Berseragam polisi lalu lintas lengkap dengan peluit dan blanko “Tilang”. Sebagai penyidik berdasar UU No 22 tahun 2009, mereka bisa menyalahgunakan kewanangan tersebut menjadi sutradara sekaligus aktor makelar kasus di jalanan. Dan hari ini saya mengalami bagaimana licinnya markus ini bekerja.
Pagi tadi, saya melintas di jalanan Rasuna Said menuju arah mampang. Namun, di tengah perjalanan, saya berubah pikiran untuk berputar arah karena hendak menuju ke kawasan Senen. Saya ambil jalur cepat dan memutar di perlintasan busway Rasuna Said depan Kementerian Hukum dan HAM RI. Di perlintasan terlihat dua polantas lengkap dengan segala atributnya.
Di saat mengantri karena ada Transjakarta yang melintas, seorang polisi melambaikan tongkat ajaibnya ke arah saya dan meminta untuk minggir. Tanpa melakukan perlawanan saya menepikan kendaraan. Polantas memberi hormat seraya mengucap, “selamat pagi, maaf lampunya tidak nyala pak.” Kontan saya terkejut dan baru menyadari bahwa lampu motor saya memang tidak menyala.
Polantas berpangkat Briptu dari Kesatuan Dit Lantas Patwal Polda Metro Jaya ini speak-speak dengan saya. “bapak melanggar UU Lalu Lintas karena tidak menyalakan lampu,” ujarnya. Saya jawab, “iya pak, lupa belom nyalain lampu.” Polisi itu kemudian meminta STNK dan SIM serta mengajak saya ke motor besarnya dan bertanya, “ini mau ditilang atau bagaimana.” Sebagai warga negara indonesia yang baik, saya menjawab, “silahkan di tilang saja pak, saya mengakui kesalahan saya”
Mendengar jawaban saya, Briptu bernisial YP ini terlihat kaget. Dia lantas mencoba membujuk saya agar ada perdamaian. Saya tetap dengan pendirian saya agar tetap ditilang. Beberapa menit dia pura-pura sibuk mencari blanko di kotak motornya sambil terus berupaya meyakinkan saya agar berdamai. Karena tidak ada kesepakatan, Polantas tersebut kemudian menyerah dan bermaksud menulis di blanko tilang.
Ketika menulis di blangko, saya bilang kepada polantas tersebut, “slip biru saja pak”. Polisi melihat ke arah saya dengan muka memerah menahan marah. Dia kemudian berucap, “slip biru sekarang sudah ga ada. Saya kemudian membantah ucapannya “berdasar UU apa pak slip biru ga ada?. Saya ga mau repot berususan dengan pengadilan dan saya mengakui kesalahan saya. Makanya saya minta slip biru, biar saya nanti langsung bayar ke bank berdasarkan nominal denda yang dibebankan kepada saya.
Polantas tersebut mengurungkan niatnya untuk menulis Tilang. Dengan mata melotot, dia bilang, “Slip biru tidak bisa diberikan kepada bapak yang dari luar kota. Slip biru hanya diberikan kepada orang dengan SIM dan STNK dari Jakarta.” Sekali lagi, jawaban polisi saya bantah, “lho pak, sistem slip biru kan justru memangkas mekanisme di pengadilan. Ini banyak membantu orang dari luar kota yang kena tilang agar urusannya cepat selesai.”
Alasan saya benar karena berdasar UU No 22 Tahun 2009, Pasal 267 paragraf II tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, uang titipan dengan membayar slip biru di Bank adalah salah bagian penindakan. Bahkan, jika keputusan pengadilan lebih rendah dari uang titipan tersebut, uang titipan harus dikembalikan kepada kita. Yang jelas, kelihatan banget kalau alasan polantas tersebut hanya akal-akalan saja. Semacam gertakan agar pelanggar takut.
Mendengar jawaban saya, Polisi ini mulai salah tingkah. Dia kemudian menggertak saya bahwa dendanya Rp 500.000. Bahkan polisi ini sempat nanya, “memang kamu punya duit kalau saya tilang. Ia kembali meyakinkan saya bahwa tilang akan lebih mahal dan merepotkan. Dia menawarkan jasa dia. Namun, saya pantang menyerah dan tetap dengan pendirian agar DITILANG.
Polisi yang mulai kehabisan akal ini kebingungan dan memanggil kawannya. Sang kawan yang nampaknya juga ogah meladeni saya berbicara, “Sudahlah, kasih saja slip biru. Alamat BRI ada di box motor.” Polantas Briptu YP kemudian menulis pelanggaran saya dan menyerahkan surat tilang slip biru kepada saya. Di slip biru saya baca; Ruang Bagi Terdakwa; Psl 293 (2) jo psl 107 (2). Dendanya ditulis Rp 100.000.
Setelah saya cek, benar memang saya telah melanggar UU No 22 tahun 2009 pasal 293 (2). Pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Weladalah, kok bisa seenaknya itu Polisi mengancam saya dengan denda Rp 500.000 padahal denda sebenarnya Rp 100.000. Dan modus menggertak seperti ini memang sering dilakukan para Polantas agar mereka yang melanggar takut dan mau diajak berdamai. Tapi dasar markus, maunya nyari untung saja. Repot memang kalau hidup di negeri sarang markus. Jadi buat kawan-kawan, waspadalah dengan modus para markus jalanan ini. Jangan segan untuk minta tahu kita melanggar pasal berapa dan berapa dendanya. Kalau sudah jelas dan kita mengakui kesalahan, mending minta slip biru aja. Biar ga ribet
Sumber
Di saat mengantri karena ada Transjakarta yang melintas, seorang polisi melambaikan tongkat ajaibnya ke arah saya dan meminta untuk minggir. Tanpa melakukan perlawanan saya menepikan kendaraan. Polantas memberi hormat seraya mengucap, “selamat pagi, maaf lampunya tidak nyala pak.” Kontan saya terkejut dan baru menyadari bahwa lampu motor saya memang tidak menyala.
Polantas berpangkat Briptu dari Kesatuan Dit Lantas Patwal Polda Metro Jaya ini speak-speak dengan saya. “bapak melanggar UU Lalu Lintas karena tidak menyalakan lampu,” ujarnya. Saya jawab, “iya pak, lupa belom nyalain lampu.” Polisi itu kemudian meminta STNK dan SIM serta mengajak saya ke motor besarnya dan bertanya, “ini mau ditilang atau bagaimana.” Sebagai warga negara indonesia yang baik, saya menjawab, “silahkan di tilang saja pak, saya mengakui kesalahan saya”
Mendengar jawaban saya, Briptu bernisial YP ini terlihat kaget. Dia lantas mencoba membujuk saya agar ada perdamaian. Saya tetap dengan pendirian saya agar tetap ditilang. Beberapa menit dia pura-pura sibuk mencari blanko di kotak motornya sambil terus berupaya meyakinkan saya agar berdamai. Karena tidak ada kesepakatan, Polantas tersebut kemudian menyerah dan bermaksud menulis di blanko tilang.
Ketika menulis di blangko, saya bilang kepada polantas tersebut, “slip biru saja pak”. Polisi melihat ke arah saya dengan muka memerah menahan marah. Dia kemudian berucap, “slip biru sekarang sudah ga ada. Saya kemudian membantah ucapannya “berdasar UU apa pak slip biru ga ada?. Saya ga mau repot berususan dengan pengadilan dan saya mengakui kesalahan saya. Makanya saya minta slip biru, biar saya nanti langsung bayar ke bank berdasarkan nominal denda yang dibebankan kepada saya.
Polantas tersebut mengurungkan niatnya untuk menulis Tilang. Dengan mata melotot, dia bilang, “Slip biru tidak bisa diberikan kepada bapak yang dari luar kota. Slip biru hanya diberikan kepada orang dengan SIM dan STNK dari Jakarta.” Sekali lagi, jawaban polisi saya bantah, “lho pak, sistem slip biru kan justru memangkas mekanisme di pengadilan. Ini banyak membantu orang dari luar kota yang kena tilang agar urusannya cepat selesai.”
Alasan saya benar karena berdasar UU No 22 Tahun 2009, Pasal 267 paragraf II tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, uang titipan dengan membayar slip biru di Bank adalah salah bagian penindakan. Bahkan, jika keputusan pengadilan lebih rendah dari uang titipan tersebut, uang titipan harus dikembalikan kepada kita. Yang jelas, kelihatan banget kalau alasan polantas tersebut hanya akal-akalan saja. Semacam gertakan agar pelanggar takut.
Mendengar jawaban saya, Polisi ini mulai salah tingkah. Dia kemudian menggertak saya bahwa dendanya Rp 500.000. Bahkan polisi ini sempat nanya, “memang kamu punya duit kalau saya tilang. Ia kembali meyakinkan saya bahwa tilang akan lebih mahal dan merepotkan. Dia menawarkan jasa dia. Namun, saya pantang menyerah dan tetap dengan pendirian agar DITILANG.
Polisi yang mulai kehabisan akal ini kebingungan dan memanggil kawannya. Sang kawan yang nampaknya juga ogah meladeni saya berbicara, “Sudahlah, kasih saja slip biru. Alamat BRI ada di box motor.” Polantas Briptu YP kemudian menulis pelanggaran saya dan menyerahkan surat tilang slip biru kepada saya. Di slip biru saya baca; Ruang Bagi Terdakwa; Psl 293 (2) jo psl 107 (2). Dendanya ditulis Rp 100.000.
Setelah saya cek, benar memang saya telah melanggar UU No 22 tahun 2009 pasal 293 (2). Pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Weladalah, kok bisa seenaknya itu Polisi mengancam saya dengan denda Rp 500.000 padahal denda sebenarnya Rp 100.000. Dan modus menggertak seperti ini memang sering dilakukan para Polantas agar mereka yang melanggar takut dan mau diajak berdamai. Tapi dasar markus, maunya nyari untung saja. Repot memang kalau hidup di negeri sarang markus. Jadi buat kawan-kawan, waspadalah dengan modus para markus jalanan ini. Jangan segan untuk minta tahu kita melanggar pasal berapa dan berapa dendanya. Kalau sudah jelas dan kita mengakui kesalahan, mending minta slip biru aja. Biar ga ribet
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar